Oleh: Shintia Rizki Nursayyidah - dimuat di Inilah Koran
Saat ini pembahasan
mengenai RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) sedang hangat dibicarakan di DPR.
Sejak awal kemunculannya, RUU KKG ini telah menuai pro-kontra. Namun, hadirnya
RUU KKG ini lebih banyak yang menentang dan menolak, karena dinilai berbahaya
dan merusak masyarakat.
Sebagai anggota masyarakat, tentu kita harus
kritis dengan kebijakan-kebijakan yang akan ditetapkan pemerintah. Pasalnya,
setiap kebijakan tentu akan menentukan nasib masyarakat. Termasuk ide KKG yang
akhir-akhir ini gencar didengung-dengungkan. Jika kita menilik naskah draf RUU
KKG/Timja/24/Agustus/2011, maka akan kita temui berbagai konsep mendasar yang cenderung
seksis, yakni hanya mengutamakan salah satu jenis kelamin saja. Yang dikedepankan adalah isu ketertindasan
kaum perempuan.
Dalam perspektif gender, penindasan atas perempuan
dipengaruhi oleh sudut pandang patriarki dalam aturan dan hukum. Maka aturan
dan hukum harus dibuat dengan sudut pandang perempuan agar terealisasi KKG.
Keterlibatan perempuan menjadi keharusan sekaligus ukurannya. Jika partisipasi
perempuan itu sama dengan laki-laki barulah dianggap benar-benar setara dan
adil. Maka, dalam rumusan naskah draf RUU KKG tersebut sangat kental dengan
ideologi feminisme yang tidak ada hubungannya dengan pembangunan bangsa
Indonesia yang bermartabat. Bahkan sebagiannya hanyalah
terjemahan dari Convention on the Elimination of all forms of Discrimination
Against Women (CEDAW). Misalnya tentang definisi diskriminasi terhadap
perempuan.
Dalam Bab I pasal 1 ayat 4 Draft RUU KKG
menyebutkan: “Diskriminasi adalah segala bentuk pembedaan,
pengucilan, atau pembatasan, dan segala bentuk kekerasan yang dibuat
atas dasar jenis kelamin tertentu, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk
mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan manfaat atau penggunaan hak
asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya,
sipil atau bidang lainnya terlepas dari status perkawinan, atas dasar persamaan
antara perempuan dan laki-laki.”
Definisi ini tidak jauh berbeda dengan part I article I CEDAW yang
berbunyi: “…discrimination against women shall mean any distinction,
exclusion or restriction made on the basis of sex which has the effect or
purpose of impairing or nullifying the recognition, enjoyment or exercise by
women, irrespective of their marital status, on a basis of equality of men and
women, of human rights and fundamental freedoms in the political, economic,
social, cultural, civil or any other field.”
Definisi di atas, jelas menunjukkan bahwa RUU KKG ini hanyalah
perpanjangan dari proyek barat dalam rangka imperialisme. Dibalik ide KKG ini pun mengintai kerakusan nafsu
bisnis yang notabene berpihak pada para kapital asing. Bernard Lewis dalam
bukunya, The Middle East mengungkapkan, “Faktor utama dalam emansipasi
perempuan adalah ekonomi…. Kebutuhan tenaga kerja perempuan.” Nicholas
Rockefeller –seorang penasihat RAND- menyatakan tujuan kesetaraan gender adalah
untuk mengumpulkan pajak dari publik 50% lebih untuk mendukung kepentingan
bisnis.
Maka patut kita pertanyakan, adanya RUU KKG ini
sebenarnya untuk kepentingan siapa? apakah selama ini di Indonesia secara umum
telah berlangsung pemasungan dan perampasan hak-hak perempuan di segala bidang
kehidupan sehingga RUU ini sangat mendesak untuk disahkan? Apakah perempuan
menginginkannya? Dan apakah perempuan juga harus menginginkannya? Ataukah
hal ini karena sebagai konsekuensi logis dari keikutsertaan Indonesia
menandatangani konvensi CEDAW pada tahun 1980, sehingga tidak diperlukan
kontekstualisasi keindonesiaan dalam mengimplementasikan butir-butir yang
termaktub dalam CEDAW?
Padahal secara kontekstual, aturan yang terdapat
dalam naskah RUU KKG ini tidak cocok jika diterapkan di Indonesia. Tentu telah
kita ketahui bersama bahwa Indonesia adalah negara yang sebagian besar
penduduknya beragama Islam. Sebagai umat Islam, tentu kita memiliki hak untuk
mengamalkan aturan sesuai dengan agama yang kita anut. Namun dalam naskah RUU
KKG pasal 67 RUU KKG menyebutkan: “Setiap orang dilarang melakukan perbuatan
yang memiliki unsur pembedaan, pembatasan, dan/atau pengucilan atas dasar jenis
kelamin tertentu.”
Lalu, Pasal 70 RUU KKG merumuskan adanya
hukuman pidana bagi pelanggar UU KKG: “Setiap orang yang dengan sengaja
melakukan perbuatan yang memiliki unsur pembedaan, pembatasan, dan/atau
pengucilan atas dasar jenis kelamin tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal
67, dipidana dengan pidana penjara paling lama …. (….) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp … (….).”
Melalui pasal 67 dan 70 RUU KKG tersebut, tentu
hal ini akan menimbulkan masalah. Orang Islam yang taat pada syariah, –misalnya-
melarang perempuan menjadi khatib jumat; membatasi wali dan saksi nikah hanya
untuk kaum laki-laki; melarang anak perempuannya menikah dengan laki-laki
non-Muslim; membeda-bedakan pembagian waris untuk anak laki-laki dan perempuan;
membedakan jumlah kambing yang disembelih untuk aqiqah anak laki-laki dan
perempuan. Hal ini jelas dianggap tidak sejalan dengan ide gender dan KKG yang
diusung RUU ini, sehingga masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam,
tentu nantinya akan berbondong-bondong masuk penjara.
Oleh karena itu, kita berharap, para para anggota
dewan yang terhormat -apalagi yang Muslim- tidak akan mengesahkan segala bentuk
Undang-undang yang tidak adil dan menyengsarakan rakyat.
*Penulis adalah aktivis dan pemerhati masalah perempuan
0 komentar:
Posting Komentar