Minggu, 21 Oktober 2012

0 Menyoal RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG)


Oleh: Shintia Rizki Nursayyidah - dimuat di Inilah Koran

            Saat ini pembahasan mengenai RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) sedang hangat dibicarakan di DPR. Sejak awal kemunculannya, RUU KKG ini telah menuai pro-kontra. Namun, hadirnya RUU KKG ini lebih banyak yang menentang dan menolak, karena dinilai berbahaya dan merusak masyarakat.
Sebagai anggota masyarakat, tentu kita harus kritis dengan kebijakan-kebijakan yang akan ditetapkan pemerintah. Pasalnya, setiap kebijakan tentu akan menentukan nasib masyarakat. Termasuk ide KKG yang akhir-akhir ini gencar didengung-dengungkan. Jika kita menilik naskah draf RUU KKG/Timja/24/Agustus/2011, maka akan kita temui berbagai konsep mendasar yang cenderung seksis, yakni hanya mengutamakan salah satu jenis kelamin saja. Yang dikedepankan adalah isu ketertindasan kaum perempuan.
Dalam perspektif gender, penindasan atas perempuan dipengaruhi oleh sudut pandang patriarki dalam aturan dan hukum. Maka aturan dan hukum harus dibuat dengan sudut pandang perempuan agar terealisasi KKG. Keterlibatan perempuan menjadi keharusan sekaligus ukurannya. Jika partisipasi perempuan itu sama dengan laki-laki barulah dianggap benar-benar setara dan adil. Maka, dalam rumusan naskah draf RUU KKG tersebut sangat kental dengan ideologi feminisme yang tidak ada hubungannya dengan pembangunan bangsa Indonesia yang bermartabat. Bahkan sebagiannya hanyalah terjemahan dari Convention on the Elimination of all forms of Discrimination Against Women (CEDAW). Misalnya tentang definisi diskriminasi terhadap perempuan.
Dalam Bab I pasal 1 ayat 4 Draft RUU KKG menyebutkan: “Diskriminasi adalah segala bentuk pembedaan, pengucilan, atau pembatasan, dan segala bentuk kekerasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin tertentu, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan manfaat atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya terlepas dari status perkawinan, atas dasar persamaan antara perempuan dan laki-laki.”
Definisi ini tidak jauh berbeda dengan part I article I CEDAW yang berbunyi: “…discrimination against women shall mean any distinction, exclusion or restriction made on the basis of sex which has the effect or purpose of impairing or nullifying the recognition, enjoyment or exercise by women, irrespective of their marital status, on a basis of equality of men and women, of human rights and fundamental freedoms in the political, economic, social, cultural, civil or any other field.”
Definisi di atas, jelas menunjukkan bahwa RUU KKG ini hanyalah perpanjangan dari proyek barat dalam rangka imperialisme. Dibalik ide KKG ini pun mengintai kerakusan nafsu bisnis yang notabene berpihak pada para kapital asing. Bernard Lewis dalam bukunya, The Middle East mengungkapkan, “Faktor utama dalam emansipasi perempuan adalah ekonomi…. Kebutuhan tenaga kerja perempuan.” Nicholas Rockefeller –seorang penasihat RAND- menyatakan tujuan kesetaraan gender adalah untuk mengumpulkan pajak dari publik 50% lebih untuk mendukung kepentingan bisnis.
Maka patut kita pertanyakan, adanya RUU KKG ini sebenarnya untuk kepentingan siapa? apakah selama ini di Indonesia secara umum telah berlangsung pemasungan dan perampasan hak-hak perempuan di segala bidang kehidupan sehingga RUU ini sangat mendesak untuk disahkan? Apakah perempuan menginginkannya? Dan apakah perempuan juga harus menginginkannya? Ataukah hal ini karena sebagai konsekuensi logis dari keikutsertaan Indonesia menandatangani konvensi CEDAW pada tahun 1980, sehingga tidak diperlukan kontekstualisasi keindonesiaan dalam mengimplementasikan butir-butir yang termaktub dalam CEDAW?
Padahal secara kontekstual, aturan yang terdapat dalam naskah RUU KKG ini tidak cocok jika diterapkan di Indonesia. Tentu telah kita ketahui bersama bahwa Indonesia adalah negara yang sebagian besar penduduknya beragama Islam. Sebagai umat Islam, tentu kita memiliki hak untuk mengamalkan aturan sesuai dengan agama yang kita anut. Namun dalam naskah RUU KKG pasal 67 RUU KKG menyebutkan: “Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang memiliki unsur pembedaan, pembatasan, dan/atau pengucilan atas dasar jenis kelamin tertentu.”
Lalu, Pasal 70 RUU KKG  merumuskan adanya hukuman pidana bagi pelanggar UU KKG: “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang memiliki unsur pembedaan, pembatasan, dan/atau pengucilan atas dasar jenis kelamin tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 67, dipidana dengan pidana penjara paling lama …. (….) tahun dan pidana denda paling banyak Rp … (….).”
Melalui pasal 67 dan 70 RUU KKG tersebut, tentu hal ini akan menimbulkan masalah. Orang Islam yang taat pada syariah, –misalnya- melarang perempuan menjadi khatib jumat; membatasi wali dan saksi nikah hanya untuk kaum laki-laki; melarang anak perempuannya menikah dengan laki-laki non-Muslim; membeda-bedakan pembagian waris untuk anak laki-laki dan perempuan; membedakan jumlah kambing yang disembelih untuk aqiqah anak laki-laki dan perempuan. Hal ini jelas dianggap tidak sejalan dengan ide gender dan KKG yang diusung RUU ini, sehingga masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, tentu nantinya akan berbondong-bondong masuk penjara.
Oleh karena itu, kita berharap, para para anggota dewan yang terhormat -apalagi yang Muslim- tidak akan mengesahkan segala bentuk Undang-undang yang tidak adil dan menyengsarakan rakyat.

*Penulis adalah aktivis dan pemerhati masalah perempuan

0 komentar:

Posting Komentar

 

Forum Opiniku :) Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates