Selasa, 30 Oktober 2012

0 ENYAHKAN NARKOBA DENGAN SISTEM ISLAM



Sungguh mustahil mewujudkan masyarakat yang bersih dari narkoba jika hukum yang digunakan saat ini masih hukum buatan manusia yakni demokrasi dengan akidah sekulerisme. Hukum bisa dengan mudah diperjualbelikan bahkan diubah sesuai dengan kepentingan pihak-pihak tertentu. Hanya dengan penerapan syariat Islam yang kaffah dalam bingkai Khilafah masyarakat yang bersih dari kemaksiatan mampu diwujudkan.
Kian maraknya penyalahgunaan Narkoba tidak lain dan tidak bukan akibat akidah sekulerisme yang kini menjadi landasan kehidupan dalam bermasyarakat. Sekulerisme meniscayakan adanya pemisahan agama dari kehidupan. Gaya hidup hedonis dan permisif (serba boleh) pun semakin menjamur akibatnya. My body my right. Prinsip hidupnya bukan lagi halal haram melainkan “uang saya sendiri, badan saya sendiri, maka terserah saya donk”. Akhirnya miras, narkoba, perzinaan, free sex, pelacuran, dsb menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sebagian masyarakat di negeri ini.
Sistem hukum yang diharapkan mampu memberantasnya nyata-nyata tumpul. Pertengahan bulan ini, presiden Yudhoyono mengabulkan permohonan grasi bagi terpidana mati kasus narkoba Deni Setia Maharwan alias Rafi dan Merika Pranola alias Ola alias Tania dan mengubah hukuman keduanya menjadi penjara seumur hidup. Sebelumnya, kebijakan yang sama diperuntukkan bagi Schapelle Leigh Corby, seorang warga negara Australia yang tertangkap tangan membawa narkoba masuk ke Bali dan kemudian terkena sanksi penjara selama 20 tahun. Corby mendapatkan grasi berupa pengurangan hukuman 5 tahun.
Kebijakan tersebut seolah memberikan kesan bahwa pemimpin kita mentoleransi berkembangnya “pasar narkoba” di tanah air, sekaligus seolah melupakan reaksi dan kritikan pedas dari berbagai elemen masyarakat atas pemberian grasi terhadap pengedar Narkoba. Ironis.
Inikah keadilan?
Sanksi hukum yang diberlakukan bagi para pengedar narkoba sungguhlah lunak. Vonis mati yang diharapkan bisa menimbulkan efek jera justru dibatalkan oleh MA dan grasi presiden. Bandar dan pengedar narkoba mendapat peluang pengurangan masa tahanan. Bahkan lebih parah lagi, mereka tetap dapat mengontrol penyebaran narkoba dari dalam penjara. Tak heran jika kita dapati pula bahwa para aparat penegak hukumnya pun terjerat narkoba.
Dengan dalih kemanusiaan, hakim MA membatalkan vonis mati dua gembong narkoba. Hal ini karena dianggap bertentangan dengan hak hidup yang dijamin oleh UUD 1945 Pasal 28 dan melanggar HAM. Sejumlah LSM yang menolak vonis hukuman mati beralasan bahwa vonis hukuman mati terbukti tidak menyurutkan angka kejahatan narkoba.
Anggapan bahwa vonis mati tidak memberikan efek jera jelas tidak didukung bukti. Fakta yang ada menunjukkan bahwa dari sekian vonis hukuman mati yang sudah dijatuhkan belum ada yang dieksekusi. Saat ini masih ada 50 terpidana mati kasus narkoba yang belum dilaksanakan. Disamping kalaupun dilaksanakan, masyarakat tidak pernah mengetahuinya. Wajar saja efek jeranya belum terasa, sebab memang belum dilaksanakan.
Enyahkan Narkoba dengan Sistem Islam!
            Ketika syariat Islam diterapkan, maka peluang penyalahgunaan hukum akan tertutup. Landasan akidah Islam mewajibkan Negara membina ketakwaan warganya. Ketakwaan yang terwujud akan mencegah seseorang terjerumus dalam kejahatan narkoba. Setiap individu akan menyadari benar bahwa ada hari akhir dimana setiap amal perbuatan dimintai pertanggungjawabkan. Kehidupan bernegara dilandasi dengan suasana keimanan yang kental bukan seperti saat ini.
            Alasan ekonomi yang menjadi salah satu penyebab seseorang terjerat narkoba pun bisa dienyahkan, karena sistem ekonomi Islam yang diterapkan dalam sistem pemerintahan Islam meniscayakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat baik dia seorang Muslim ataupun non-Muslim. Semua pemenuhan kebutuhan pokok setiap rakyat (papan, pangan, dan sandang) juga kebutuhan dasar masyarakat (pendidikan, layanan kesehatan, dan keamanan) akan dijamin oleh Negara. Hal ini dapat diwujudkan dengan memanfaatkan dan mengelola seluruh sumber daya alam sesuai syariat Islam yakni diwajibkan pengelolaannya oleh Negara dan bukan diserahkan pada pihak swasta asing seperti saat ini.
            Secara hukum, dalam syariah Islam, narkoba adalah haram sebagaimana yang diriwayatkan dari Ummu Salamah ra: “Rasulullah saw. melarang setiap zat yang memabukkan dan menenangkan”. (HR. Abu Daud dan Ahmad).
Sebagai zat haram, siapa saja yang mengkonsumsi, mengedarkan dan memproduksinya berarti telah melakukan jarîmah (tindakan kriminal) yang termasuk sanksi ta’zir. Pelakunya layak dijatuhi sanksi dimana bentuk, jenis dan kadar sanksinya diserahkan kepada ijtihad Khalifah atau Qadhi, bisa sanksi diekspos, penjara, denda, jilid bahkan sampai hukuman mati dengan melihat tingkat kejahatan dan bahayanya bagi masyarakat.
Terhadap pengguna narkoba yang baru sekali, selain harus diobati/ direhabilitasi oleh Negara secara gratis, cukup dijatuhi sanksi ringan saja. Jika berulang-ulang tertangkap menggunakan narkoba sanksinya bisa lebih berat. Terhadap pengedar tentu tak layak dijatuhi sanksi hukum yang ringan atau bahkan diberi keringanan. Sebab selain melakukan kejahatan narkoba mereka juga membahayakan masyarakat. Gembong narkoba (produsen atau pengedar besar) layak dijatuhi hukuman berat bahkan sampai hukuman mati.
Jika vonis telah dijatuhkan, maka harus segera dilaksanakan dan tidak boleh dikurangi atau bahkan dibatalkan. Syaikh Abdurrahman al-Maliki di dalam Nizhâm al-‘Uqûbât (hal. 110, Darul Ummah, cet. li. 1990) “adapun untuk ta’zir dan mukhalafat, vonis Qadhi itu jika telah ditetapkan, maka telah mengikat seluruh kaum Muslim, karena itu tidak boleh dibatalkan, dihapus, dirubah, diringankan atau yang lain, selama vonis itu masih berada dalam koridor syariah. Sebab hukum itu ketika sudah ditetapkan oleh Qadhi, maka tidak bisa dibatalkan sama sekali”.
Pelaksanaan hukuman yang dijatuhkan itu harus dilakukan secepatnya, tanpa jeda waktu lama setelah dijatuhkan vonis. Pelaksanaannya hendaknya diketahui dan disaksikan oleh masyarakat seperti dalam had zina sesuai yang terdapat dalam QS. An-Nur ayat 2. Sehingga masyarakat paham bahwa itu adalah sanksi atas kejahatan tersebut dan merasa ngeri. Dengan begitu setiap orang akan berpikir ribuan kali untuk melakukan kejahatan serupa. Wallâhu a’lam. (Anita Qurrota a'yun Al-Anbiyaa)

0 Harapan Kosong Pemberantasan Korupsi

 Setelah ditunggu-tunggu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya tegas untuk menyerahkan penanganan kasus hukum dugaan korupsi simulator mengemudi di Korps Lalu Lintas Polri kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (Kompas, 9/10). Keputusan presiden tersebut diharapkan akan memberikan angin segar bagi penanganan dan penuntasan kasus korupsi di Negeri ini, mulai dari kelas teri hingga kelas kakap. Hanya saja, nampaknya masyarakat harus bersiap memiliki harapan kosong, karena harapan “Indonesia bebas korupsi” akan sulit bahkan mustahil terwujud jika sistem nya belum dirubah. Karena kasus korupsi di negeri ini, tidak hanya dilakukan by person tapi juga by system.

 Sistem politik demokrasi yang mahal menjadi salah satu sumber korupsi terbesar. Di dalam demokrasi butuh biaya besar untuk menjadi politisi, kepala daerah apalagi presiden. Dalam kampanye tak jarang  harus bermodalkan  uang puluhan juta bahkan miliaran. Untuk balik modal, sudah menjadi rahasia umum, cara-cara legal tapi curang pun dilakukan. Korupsi sangat berakar, sementara sistem pengadilan begitu lemah. Sering terjadi ketidakpaduan antar lembaga dan aparat. Ketegangan KPK Vs Polri jilid II adalah bukti paling akhir. Sehingga, pemberantasan korupsi dalam era kapitalis-demokrasi adalah suatu hal yang mendekati utopia.

Harapan bebas korupsi hanya bisa dilakukan jika pemberantasan korupsi dilakukan dengan sistem dari  Sang Pencipta, yaitu Syariah Islam. Alasannya: dasar akidah islam melahirkan kesadaran bahwa ia senantiasa diawasi oleh Allah dan melahirkan ketakwaan pada diri politisi,pejabat,aparat,pegawai dan masyarakat. Sistem politik islam termasuk dalam pemilihan pejabat dan kepala daerah tidak mahal, tidak akan akan muncul persekongkolan untuk mengembalikan modal dan keuntungan kepada pihak tertentu. Struktur dalam sistem islam semuanya berada dalam satu kepemimpinanan khalifah, sehingga ketidakpaduan antar instasi dan lembaga bisa diminimalisir.

Mari kita tengok masa Khalifah Umar bin Khathab ra, yang mengeluarkan kebijakan untuk mencatat harta pejabat dan pegawai pemerintahan. Jika ada kelebihan yang tak wajar, yang bersangkutan wajib membuktikan hartanya diperoleh secara legal. Jumlah yang tidak bisa dibuktikan, bisa disita seluruhnya atau sebagian dan dimasukkan ke kas baitul mal. Sanksi bagi pelaku pun memberikan efek cegah dan jera.

Sungguh umat muslim sangat merindukan saat ketika islam diterapkan secara sempurna, karena pemberantasan korupsi dalam sistem saat ini hanyalah harapan kosong dan hanya akan menjadi mimpi. Mimpi itu bisa diwujudkan hanya dengan penerapan syariah secara total dan menyeluruh dalam bingkai Khilafah ‘ala minhaj an-Nubuwwah.

Wallah a’lam bi ash-shawab.


Sahreva Kurniati

Pend.B.jepang Universitas Pendidikan Indonesia

085722924113

Minggu, 28 Oktober 2012

0 Revitalisasi Pemuda untuk Masa Depan Lebih Baik

Revitalisasi, mungkin itu adalah salah satu istilah yang tepat untuk pemuda saat ini. Jika merunut pada pengertian KBBI yang dimaksud dengan revitalisasi adalah berarti proses, cara, dan perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya.

Atau pengertian secara umum adalah usaha-usaha untuk menjadikan sesuatu itu menjadi penting dan perlu sekali. Jadi apa kaitannya dengan pemuda kalau demikian?

Tentu sangat erat kaitannya antara revitalisasi dengan pemuda, karena fakta bagaimana kacaunya generasi saat ini tidak bisa kita pungkiri lagi.

Paradigma berfikir dan cara hidup yang sudah bergeser akibat sistem kapitalisme yang berlandaskan pada sekuler, individualis, hedonis dan materialistis mencengkram pemuda saat ini sehingga mengakibatkan mandulnya peran generasi muda yang semestinya menjadi aset bangsa.

Tawuran, pergaulan bebas, narkoba, apatis sosial dan berbagai fenomena miris lainnya telah menjadi pemandangan biasa di kalangan pemuda dengan budaya permissive-nya yang serba boleh, serba tidak masalah, dan serba tidak apa-apa.

Jadi, jangan terlalu heran kalau bangsa ini tidak bangkit, karena aset bangsanya sendiri masih terlena dengan kubangan keterpurukan, masih sibuk berkutat dalam urusan yang galau saja, masih merasa baik-baik saja ditengah kengerian yang terjadi di sekitarnya.

Bukankah nasib masa depan suatu bangsa ada di tangan para pemudanya. Semangat pemuda yang dulu ketika dalam masa penjajahan rupanya tidak tertular pada pemuda saat ini, padahal kita sedang berada dalam kondisi yang sama-sama terjajah, bedanya hanya metode penjajahannya saja.

Kalau dulu kita dijajah secara fisik, sekarang kita dijajah secara pemikiran dan mental yang memiliki efek bahaya laten dan tersembunyi dibandingkan penjajahan fisik. Sadar atau tidak sadar, terima atau tidak terima, itulah fakta yang terjadi saat ini.

Bagaimana bisa kita membangun peradaban yang cemerlang bila fondasi awal yakni pemudanya saja sudah rusak? Bukankah itu sama saja seperti merencanakan kegagalan? Tentu bukan itu yang diharapkan.

Oleh karena itu, perlu adanya suatu formula untuk merevitalisasi para pemuda untuk mau bangkit dan memberikan kontribusinya untuk kehidupannya sendiri dan kehidupan umat. Karena pemuda merupakan generasi penerus dan pengganti dari generasi yang ada saat ini.

Formula itu adalah dengan mencabut tatanan dan cara berfikir pemuda saat ini dengan pemikiran Islam. Sistem kapitalisme yang telah sekian lama bergulir nyatanya tak mampu mengobati bangsa dan umat yang sedang sakit ini, malah semakin memperparah keadaan layaknya parasit yang sulit dienyahkan.

Hanya dengan pemikiran dan pergerakan menuju arus Islam lah yang akan menyelematkan umat sebagaimana sejarah pernah menorehkan ketahanan sistem Islam dalam bingkai Khilafah yang berdiri 1400 tahun lamanya.

Dan telah melahirkan peradaban cemerlang dengan menjamurnya para ulama dan cendekiawan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, yang telah melindungi kaum Yahudi lebih dari 500 tahun lamanya, yang telah mewariskan pemuda-pem uda berkharisma yang banyak berkarya untuk umatnya.

Tidak kah kita merasa lelah dalam oase keterpurukan seperti ini? Tidak rindu kah kita untuk kembali meraih masa depan yang lebih baik dan lebih beradab?

Jika kita rindu akan pengulangan sejarah yang gemilang itu, tentunya tidak ada pilihan lain selain bangkit. Dan jejak kebangkitan itu ada dalam langkah perjuangan pemuda! Oleh karena itu, revitalisasi pemuda ini adalah agenda mendesak!


Sheila Nurazizah
Jl Papyrus Garen, Bandung
sheila_0707939@yahoo.com
08997727389
( Tulisan ini dimuat dalam rubrik Opini di Detiknews.com)

Minggu, 21 Oktober 2012

0 Makna Besar Dibalik Idul Adha

Bandung Setiap tahunnya umat Islam merayakan hari raya qurban atau Idul Fitri dan sebentar lagi pada tahun ini umat Islam akan merayakannya. Tetapi pada faktanya umat Islam tidak begitu memahami makna besar yang terkandung dalam Idul Adha sehingga perayaannya pun hanya berupa rutinitas saja.

Jika kita memahami lebih dalam tentang makna yang terkandung pada hari raya Idul Adha yaitu tentang ketaatan, pengorbanan dan persatuan umat Islam. Tentunya dari makna tersebut kita dapat mengambil banyak pelajaran yang dapat kita contoh untuk mengarungi kehidupan menjadi baik.

Ketaatan dan pengorbanan. Ketaatan dalam konteks ini senantiasa menanti semua perintah Allah SWT, meskipun untuk itu kita mesti mengorbankan sesuatu yang paling kita cintai. Dan juga tentang Pengorbanan dalam artian sikap mengorbankan apa saja yang kita miliki dan cintai sebagai bukti ketaatan kita kepada Allah SWT.

Kisah inspiratif terkait ketaatan total dan pengorbanan sepenuhnya dalam melaksanakan perintah Allah Swt. Salah satu kisah paling menarik adalah kisah ketaatan dan pengorbanan Nabi Ibrahim As dan Nabi Ismail As. Nabi Ibrahim a.s. mendapat mimpi bahwa ia harus menyembelih Ismail puteranya.

Barangkali ada diantara kita yang mengangggap kisah di atas memang luar biasa tapi tetap saja berat untuk ditiru dikarenakan lakon kisah tersebut adalah seorang nabi Realitanya tidak murni demikian.

Mungkin iya berat bagi kita untuk meniru mentalitas Nabi Ibrahim As yang dengan teguh menjalankan perintah Tuhannya, akan tetapi sangat besar peluang bagi kita untuk meniru dan menco ntoh mentalitas Ismail muda, yang ketika itu belum diangkat menjadi nabi, dalam hal ketaatan kepada perintah Allah Swt.

Hal ini bisa kita aplikasikan ketika mengorbankan waktu untuk mengkaji Islam dan berdakwah walaupun disela-sela waktu kesibukan.

Persatuan Umat islam. Di antara pelajaran terpenting dari ibadah haji ini adalah pesan persatuan umat. Pesan ini tampak jelas sekali.

Jamaah haji akan dapat menyaksikan berkumpulnya umat Islam dari seluruh pelosok dunia untuk melakukan ibadah yang sama, zikir yang sama, di tempat yang sama dan dengan busana ihram yang sama tanpa mempedulikan lagi batasan negara bangsa (nation state), perbedaan suku, warna kulit dan bangsa.

Berkumpulnya jamaah haji dengan sesama muslim dari seluruh pelosok dunia akan menyadarkan mereka, bahwa yang mempersatukan umat Islam hanya satu faktor saja, tidak lebih, yaitu agama Allah (Islam).

Tak ada faktor pemersatu lainnya apakah itu suku, warna kulit, bangsa ataupun negara bangsa (nation state). Persatuan umat Islam dan karakter umat yang satu itulah yang menjadi dasar dari adanya negara yang satu yaitu satu negara Khilafah untuk umat Islam di seluruh dunia.

Untuk itu sebagai muslim sudah saatnya kita memahami makna besar dibalik perayaan Idul Adha dan tidak menjadikannya sebagai rutinitas semata.

*Penulis adalah Mahasiswi Jurusan Pendidikan Fisika Universitas Pendidikan Indonesia


Mei Indah Sari
Jl Geger Suni, Bandung
moy_physic@yahoo.com
085720857762

Lihat Asli di Detiknews.com

0 Tawuran: Tradisi Lama Favorit Remaja

Bandung Pendidikan merupakan gerbang untuk mencerdaskan rakyat yang akan berpengaruh pada maju tidaknya suatu bangsa. Namun ternyata, saat ini dunia pendidikan di manapun dipenuhi dengan berbagai tumpukan masalah.

Masalah yang paling nyaring gaungnya di bangsa kita adalah persoalan tawuran antar pelajar yang tahun demi tahun terus menghiasi layar pendidikan kita.

Berita terbaru datang dari tawuran antara siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 6 dan SMAN 70 di bundaran Bulungan, Jakarta Selatan, Senin, 24 September 2012, yang menyebabkan seorang siswa SMA 6 tewas. (detik.com/25/9/2012)

Pandangan bahwa masa remaja merupakan masa yang labil, penuh dengan gejolak emosi dan mencari identitas diri sehingga banyak disalurkan dengan berbagai cara yang terkadang menyimpang, tidak bisa menjadi pelegalan atas perilaku remaja tersebut.

Berulangnya kejadian tawuran yang sama dan semakin marak di berbagai daerah mengindikasikan bahwa ada yang salah dengan dunia pendidikan kita serta lemahnya efek jera yang ditimbulkan oleh sanksi atau hukum yang diberlakukan.

Penyebab semua ini berawal dari landasan pendidikan kita yang tidak menjadikan Islam sebagai asasnya. Saat ini pendidikan lebih berorientasi pada manfaat materi dengan tujuan sekolah untuk bekerja.

Maka wajar jika output pendidikan saat ini melahirkan generasi yang jauh dari Islam. Padahal sesungguhnya Islam pun memiliki sistem pendidikan yang sempurna karena berasal dari Sang Pencipta, yang tujuannya adalah membentuk generasi berkepribadian Islam.

Iri rasanya kalau kita menilik sejarah ke belakang, ketika Islam masih dijadikan sistem kehidupan oleh pemerintah dan rakyatnya.

Imam Syafi'i yang sedari kecil sudah menjadi hafidz Quran dan diakui keilmuannya, Muhammad Al-Fatih yang menaklukan Konstantinopel ketika masih berumur 23 tahun, Salman Al Farisi, Mushab Bin Umair adalah segelintir orang yang banyak berkontribusi untuk agama, umat, dan negara pada masanya ketika mereka masih muda.

Akan sulit sekali kita dapati pemuda luar biasa seperti contoh diatas pada masa sekarang ini, ketika Islam masih menjadi pajangan, ketika budaya permissive masih dijadikan kebiasaan, dan ketika 'atas nama kebebasan' masih dijadikan landasan.

Hanya dengan penerapan syariat Islam secara total dalam bingkai Khilafah lah yang akan mampu melahirkan generasi pemuda yang berkualitas yang dicintai oleh umat dan agamanya dengan karya-karya emasnya sebagaimana sejarah masa dulu menorehkannya.

*Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Manajemen Bisnis Universitas Pendidikan Indonesia


Sheila Nurazizah
Jl Papyrus Garden, Bandung
sheila_0707939@yahoo.com
08997727389

Lihat di (detiknews.com)

0 Wacana Sertifikasi Ulama Menyesatkan!

Jakarta Seiring dengan maraknya kembali isu terorisme di media massa, wacana sertifikasi ulama dan ustadz pun di gulirkan oleh BNPT yakni oleh Irfan Idris yang merupakan Direktur Deradikalisasi BNPT.

Sontak saja wacana ini menuai penolakan dari berbagai pihak, dari MUI (Majlis Ulama Indonesia), FUUI (Forum Ulama Umat Indonesia), ketua PBNU, bahkan Komnas HAM. Namun, Ketua BNPT Ansyad Mbai membantah adanya wacana sertifikasi ulama.

Padahal, tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api, dalam artian tidak mungkin ada penolakan keras dari berbagai pihak kalau tidak ada pemicunya.

Berbicara mengenai terorisme, saat ini yang menjadi tertuduh adalah ajaran Islam. Ulama, ormas, pesantren bahkan rohis sekolah atau kampus dituduh turut menyuburkan radikalisme yang berujung pada tindakan anarkis dan terorisme.

Padahal, banyak bukti yang memperlihatkan bahwa tindakan anarkis atau aksi teror dilakukan oleh pengikut agama lain semisal RSM (Republik Maluku Selatan) yang terdoktrin ajaran Kristen juga kerap melakukan kekerasan, khususnya terhadap umat Islam yang terjadi di Maluku.

Selain itu, tindakan anarkis juga tidak jarang dipicu oleh sistem dan proses politik yang ada.

Contohnya saja aksi pembakaran kantor Dispenda, DPRD dan beberapa mobil dinas di daerah Arreke' Buton Utara, Sulawesi Tenggara yang terjadi karena kekecewaan yang terjadi atas kekalahan salah satu calon Bupati.

Sertifikasi ulama yang diwacanakan oleh BNPT jelas mencederai umat Islam. Ulama yang dikatakan sebagai penerus para nabi, sebagai penyeru yang benar dan penolak sesuatu yang salah harus mendapatkan sertifikat dahulu dari pemerintah sebelum mereka menyeru umat.
Padahal, dakwah kepada yang benar dan mencegah kepada yang munkar, serta menyerukan kewajiban pelaksanaan syariat Islam dan penegakkan khilafah itu adalah kewajiban, dakwah kepada siapa pun baik teman sebaya, orang yang lebih muda, orang yang lebih tua, bahkan mengoreksi penguasa yang dzalim.

Kemunculan wacana sertifikasi ulama ini merupakan bukti bahwa sikap ketakutan terhadap ajaran Islam masih bersemayam bahkan dibenak-benak kaum Muslim sekalipun.

Saat ini, keberpihakkan dan pembelaan kepada agama Allah menjadi sebuah keharusan bagi setiap insan yang mengaku beriman kepada Allah dan Rosulnya, ditengah-tengah opini yang menyeruak baik penghinaan dan fitnah kepada Islam dan Kaum Muslim, baik di dalam maupun di luar Negeri, semoga Allah melaknat penyebar fitnah dan keresahan dalam agama ini.

*Penulis adalah Ketua Departemen Dana Usaha Kajian Islam Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia


Siti Khozanatu Rohmah
khozanah.oo45@gmail.com
085723131691

Lihat Asli

0 Menyoal RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG)


Oleh: Shintia Rizki Nursayyidah - dimuat di Inilah Koran

            Saat ini pembahasan mengenai RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) sedang hangat dibicarakan di DPR. Sejak awal kemunculannya, RUU KKG ini telah menuai pro-kontra. Namun, hadirnya RUU KKG ini lebih banyak yang menentang dan menolak, karena dinilai berbahaya dan merusak masyarakat.
Sebagai anggota masyarakat, tentu kita harus kritis dengan kebijakan-kebijakan yang akan ditetapkan pemerintah. Pasalnya, setiap kebijakan tentu akan menentukan nasib masyarakat. Termasuk ide KKG yang akhir-akhir ini gencar didengung-dengungkan. Jika kita menilik naskah draf RUU KKG/Timja/24/Agustus/2011, maka akan kita temui berbagai konsep mendasar yang cenderung seksis, yakni hanya mengutamakan salah satu jenis kelamin saja. Yang dikedepankan adalah isu ketertindasan kaum perempuan.
Dalam perspektif gender, penindasan atas perempuan dipengaruhi oleh sudut pandang patriarki dalam aturan dan hukum. Maka aturan dan hukum harus dibuat dengan sudut pandang perempuan agar terealisasi KKG. Keterlibatan perempuan menjadi keharusan sekaligus ukurannya. Jika partisipasi perempuan itu sama dengan laki-laki barulah dianggap benar-benar setara dan adil. Maka, dalam rumusan naskah draf RUU KKG tersebut sangat kental dengan ideologi feminisme yang tidak ada hubungannya dengan pembangunan bangsa Indonesia yang bermartabat. Bahkan sebagiannya hanyalah terjemahan dari Convention on the Elimination of all forms of Discrimination Against Women (CEDAW). Misalnya tentang definisi diskriminasi terhadap perempuan.
Dalam Bab I pasal 1 ayat 4 Draft RUU KKG menyebutkan: “Diskriminasi adalah segala bentuk pembedaan, pengucilan, atau pembatasan, dan segala bentuk kekerasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin tertentu, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan manfaat atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya terlepas dari status perkawinan, atas dasar persamaan antara perempuan dan laki-laki.”
Definisi ini tidak jauh berbeda dengan part I article I CEDAW yang berbunyi: “…discrimination against women shall mean any distinction, exclusion or restriction made on the basis of sex which has the effect or purpose of impairing or nullifying the recognition, enjoyment or exercise by women, irrespective of their marital status, on a basis of equality of men and women, of human rights and fundamental freedoms in the political, economic, social, cultural, civil or any other field.”
Definisi di atas, jelas menunjukkan bahwa RUU KKG ini hanyalah perpanjangan dari proyek barat dalam rangka imperialisme. Dibalik ide KKG ini pun mengintai kerakusan nafsu bisnis yang notabene berpihak pada para kapital asing. Bernard Lewis dalam bukunya, The Middle East mengungkapkan, “Faktor utama dalam emansipasi perempuan adalah ekonomi…. Kebutuhan tenaga kerja perempuan.” Nicholas Rockefeller –seorang penasihat RAND- menyatakan tujuan kesetaraan gender adalah untuk mengumpulkan pajak dari publik 50% lebih untuk mendukung kepentingan bisnis.
Maka patut kita pertanyakan, adanya RUU KKG ini sebenarnya untuk kepentingan siapa? apakah selama ini di Indonesia secara umum telah berlangsung pemasungan dan perampasan hak-hak perempuan di segala bidang kehidupan sehingga RUU ini sangat mendesak untuk disahkan? Apakah perempuan menginginkannya? Dan apakah perempuan juga harus menginginkannya? Ataukah hal ini karena sebagai konsekuensi logis dari keikutsertaan Indonesia menandatangani konvensi CEDAW pada tahun 1980, sehingga tidak diperlukan kontekstualisasi keindonesiaan dalam mengimplementasikan butir-butir yang termaktub dalam CEDAW?
Padahal secara kontekstual, aturan yang terdapat dalam naskah RUU KKG ini tidak cocok jika diterapkan di Indonesia. Tentu telah kita ketahui bersama bahwa Indonesia adalah negara yang sebagian besar penduduknya beragama Islam. Sebagai umat Islam, tentu kita memiliki hak untuk mengamalkan aturan sesuai dengan agama yang kita anut. Namun dalam naskah RUU KKG pasal 67 RUU KKG menyebutkan: “Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang memiliki unsur pembedaan, pembatasan, dan/atau pengucilan atas dasar jenis kelamin tertentu.”
Lalu, Pasal 70 RUU KKG  merumuskan adanya hukuman pidana bagi pelanggar UU KKG: “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang memiliki unsur pembedaan, pembatasan, dan/atau pengucilan atas dasar jenis kelamin tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 67, dipidana dengan pidana penjara paling lama …. (….) tahun dan pidana denda paling banyak Rp … (….).”
Melalui pasal 67 dan 70 RUU KKG tersebut, tentu hal ini akan menimbulkan masalah. Orang Islam yang taat pada syariah, –misalnya- melarang perempuan menjadi khatib jumat; membatasi wali dan saksi nikah hanya untuk kaum laki-laki; melarang anak perempuannya menikah dengan laki-laki non-Muslim; membeda-bedakan pembagian waris untuk anak laki-laki dan perempuan; membedakan jumlah kambing yang disembelih untuk aqiqah anak laki-laki dan perempuan. Hal ini jelas dianggap tidak sejalan dengan ide gender dan KKG yang diusung RUU ini, sehingga masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, tentu nantinya akan berbondong-bondong masuk penjara.
Oleh karena itu, kita berharap, para para anggota dewan yang terhormat -apalagi yang Muslim- tidak akan mengesahkan segala bentuk Undang-undang yang tidak adil dan menyengsarakan rakyat.

*Penulis adalah aktivis dan pemerhati masalah perempuan

0 Menyelesaikan Fenomena Kenakalan Remaja

Bandung Tawuran remaja yang menimbulkan korban ternyata tidak hanya baru-baru ini terjadi. Komisi Perlindungan Anak mencatat enam bulan pertama tahun 2012 tercatat sudah ada 139 kasus dengan menewaskan 12 pelajar.

Belum lagi kasus narkoba, freesex, bahkan aborsi. Mirisnya, pelaku kasus-kasus tersebut adalah remaja-remaja berseragam. Remaja ini sudah dipastikan menerima berbagai pendidikan setiap harinya. Namun, mengapa output yang dihasilkan jauh dari bayangan?

Kita tidak bisa menyalahkan individu remaja. Bagaimanapun, remaja-remaja tersebut adalah output dari sebuah sistem bernama pendidikan.

Kita pun tidak bisa menghakimi lembaga sekolah saja. Karena sekolah hanyalah fasilitas dari sistem pendidikan itu sendiri.

Perlu adanya sinkronisasi antara pendidikan sekolah, di rumah, dan di masyarakat. Rumah sebagai madrasatul ula (sekolah pertama) adalah pemberi imun pertama bagi anak. Disinilah peran termulia ibu sebagai pendidik pertama dan utama generasi penerus.

Sekolah adalah wadah penanaman kepribadian dan penambahan pemahaman mengenai petunjuk memilih yang benar dan salah.

Peran sekolah yang sangat vital akan bergantung pada konsep Negara-sebagai stake holder negri- mengenai pendidikan. Konsep mengenai pendidikan tidak boleh berasaskan materialisme, sekolah tinggi untuk gaji tinggi.

Masyarakat pun harus memberikan teladan. Tidak sinkron jika sudah dididik saleh di rumah dan sekolah tiba-tiba anak harus mendapatkan perilaku tercela dari masyarakat. Misalnya, pakaian-pakaian minim yang mempertontonkan aurat.

Maka untuk menyeimbangkan ketiga aspek ini harus ada yang mengatur yaitu Negara. Tentu Negara akan mengatur dengan baik dengan sistem yang baik pula. Sistem Islamlah sistem sempurna yang akan mewujudkan generasi saleh sekaligus cerdas.

*Penulis adalah mahasiswi Pendidikan Kimia Universitas Pendidikan Indonesia


Sabila Islamina Asy-syahidah
Jl. Gegerkalong Girang, Bandung
i_luv_reris@yahoo.co.id
085624591278

Lihat Aslinya 

0 Kesejahteraan, Utopia Rakyat Kecil

Bandung Demo buruh kembali terjadi di Indonesia. Aksi ini terjadi di 35 kabupaten/kota, di 12 provinsi. Dalam aksinya, para buruh menuntut agar Pemerintah meloloskan rencana mereka atas penghapusan sistem lepas daya (outsourching), perbaikan tingkat upah, dan pemberian jaminan sosial kesehatan yang akan dimulai pada tahun 2014.

Aksi ini merupakan aksi atas tuntutan kesejahteraan yang belum mereka dapatkan hinggga saat ini. Taraf kehidupan para buruh masih jauh di atas rata-rata. Sehingga wajar apabila para buruh dalam setiap aksinya menuntut kesejahteraan.

Rendahnya kesejahteraan ini tampak pada rendahnya upah yang mereka dapatkan. Upah minimum tertinggi di DKI saja untuk tahun 2012 sebesar Rp 1.529.130. Apabila dibandingkan dengan kota/kabupaten lainnya di seluruh Indonesia tentu akan jauh lebih kecil daripada Jakarta.

Dengan upah sebesar itu, mereka dituntut untuk pintar-pintar bersiasat guna memenuhi kebutuhan hidupnya yang semakin hari semakin meningkat.

Biaya pendidikan anak, kesehatan, serta kebutuhan hidup lainnya. Tentu akan semakin membebani dan semakin tersedot penghasilan yang mereka dapatkan ketika mereka harus mengeluarkan biaya transportasi untuk ongkos mereka bekerja.

Paradoks negeriku

Negeri ini luar biasa kayanya. Namun, kesejahteraan tak kunjung dirasakan. Kita lihat produk domestik bruto (PDB) 2011 sudah mencapai sekitar 7.500 triliun. BPS sendiri menyatakan, pendapatan per kapita tahun 2011 mencapai Rp 30,8 juta.

Itu artinya rata-rata pendapatan per kapita penduduk Indonesia mencapai Rp 2,56 juta per bulan. Ironi, realita di lapangan jauh berbanding terbalik dengan angka statistik itu.

Nyatanya, dari 37 juta para pekerja, upah yang mereka dapatkan paling tinggi sebesar 1,5 juta rupiah dan mayoritas dari jumlah pekerja itu hanya mendapatkan setengah dari angka tersebut. Artinya, mayoritas para pekerja tersebut hanya mendapatkan upah sebesar Rp 750.000,- per bulan.

Problem kesejahteraan rupanya tidak hanya menimpa para buruh saja, masih banyak pekerja lainnya mengalami hal yang sama. Bahkan bisa jadi lebih pelik dibandingkan para buruh.

Misalnya para petani yang hanya sebagai penggarap, bukan sebagai tuan tanah. Problem kesejahtearaan yang melanda penduduk negeri ini merupakan sebuah masalah besar yang harus segera diselesaikan.

Apabila kita meninjau perhitungan BPS yang berdasarkan pada perhitungan pendapatan per kapita, memang tidak ada yang salah dengan hasil perhitungan mereka. Namun, yang kemudian menjadi salah itu adalah pola perhitungan yang mereka gunakan, yaitu pola perhitungan pendapatan per kapita.

Pola ini adalah pola yang kemudian tidak bisa mendapatkan nominal pasti yang didapatkan setiap pekerja. Kesejahteraan hanya disandarkan pada pendapatan per kapita penduduk negeri ini. Padahal bisa jadi tidak semua orang mendapatkan penghasilan sesuai dengan angka yang didapatkan BPS.

Ini artinya, hanya segelintir orang yang kemudian mendapatkan penghasilan jauh lebih besar dibandingkan penduduk lainnya.

Lebih jauh lagi, kekayaan tidak terdistribusi secara merata dan adil, kekayaan hanya terkonsentrasi pada sebagian kecil orang. Pola perhitungan seperti ini merupakan konsekuensi logis dari sistem yang diterapkan di negeri yang kaya raya ini, yaitu sistem kapitalisme.

Sistem kapitalisme menetapkan aturan baku seperti itu dalam menentukan kesejahteraan negara yang menerapkannya. Hal ini kian mengindikasikan bahwa kesejahteraan gagal diwujudkan oleh negara yang menerapkan sistem kapitalisme.

Berbagai sistem pernah Indonesia terapkan guna berharap mendapatkan kesejahteraan. Namun, harapan itu hanya sebatas angan-angan belaka.

Sistem yang lebih dekat ke sosialis, kemudian sistem kapitalisme dengan demokrasi orde baru, hingga kapitalisme neo-liberal pasca reformasi disertai dengan berbagai teori pembangunan dan mazhab ekonomi dari setiap sistem itu Indonesia jalankan. Hasilnya? Kesejahteraan hanya sebatas wacana saja.

Masyarakat Indonesia dengan mayoritas kaum muslim sudah seharusnya menyadari ada sistem yang belum pernah mereka coba untuk diterapkan, yaitu sistem dari Sang Pencipta mereka, sistem ekonomi Islam. Islam memandang kesejahteraan adalah hal yang krusial dan harus didapatkan oleh setiap warganya.

Karena Islam memahami bahwa kemiskinan akan mendekatkan kepada kekufuran, sehingga negara yang menerapkan sistem ekonomi Islam akan terus berupaya guna menjaga keimanan warga negaranya dengan memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Islam memiliki sistem politik ekonomi yang holistik, sistem ini menjamin pemenuhan kebutuhan pokok tiap individu rakyat dan memberi peluang bagi tiap orang untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kemampuan mereka.

Kebutuhan pokok ini dijamin oleh negara secara sepenuhnya. Kebutuhan pokok ini meliputi: sandang, papan, pangan dan kebutuhan dasar masyarakat. Kebutuhan dasar ini mencakup pelayanan kesehatan, pendidikan dan keamanan.

Kebutuhan dasar ini dipenuhi secara langsung oleh negara dengan menggratiskan biaya secara sepenuhnya. Sedangkan untuk kebutuhan pokok, negara menyediakan pemenuhannya dengan tahapan-tahapan tertentu dengan menggunakan mekanisme ekonomi dan non ekonomi.

Dalam memenuhi kebutuhan pokoknya, Islam mewajibkan agar setiap laki-laki bekerja untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan kebutuhan orang-orang yang menjadi tanggungannya.

Apabila karena suatu hal yang menyebabkan ia tidak bisa bekerja seperti sakit, maka pemenuhan kebutuhan pokoknya ditanggung oleh kerabatnya yang terdekat. Apabila belum terpenuhi juga, maka tanggung jawab itu beralih menjadi tanggung jawab negara.

Ketika Islam memerintahkan kepada laki-laki untuk mencari nafkah, pada saat yang sama negara yang menerapkan sistem Islam harus menyediakan lapangan pekerjaan melalui berbagai proyek pembangunan terutama pekerjaan padat karya.

Secara alami, justru masyarakat akan membuka lapangan kerja sendiri. Di sinilah negara harus menciptakan iklim usaha yang kondusif. Dengan berbagai mekanisme politik ekonomi Islam yang dijalankan negara, kesejahteraan yang didambakan setiap penduduk negeri ini akan bisa terwujud.

Islam mewajibkan negara berperan sebagai pelayan ummat dan mengharuskan negara untuk mengembangkan sistem birokrasi dan administrasi yang sederhana dalam aturan, cepat dalam pelayanan, dan profesional.

Sistem ekonomi ini mustahil terwujud di tengah-tengah penerapan sistem kapitalisme yang justru bertentangan dengan Islam. Oleh karena itu dibutuhkan lingkaran berpikir yang utuh untuk memahami bagaimana sistem ekonomi Islam ini bisa terwujud.

Apabila kita merujuk pada definisi sistem itu sendiri, maka tentu kita akan mendapati bahwasanya sistem ekonomi Islam tidak bisa berdiri sendiri tanpa ada yang menyertainya. Karena sistem adalah perangkat unsur yang secara teratur dan saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas.

Dengan demikian dibutuhkan seperangkat aturan yang sejalan dengan sistem ekonomi Islam tersebut, yaitu sistem-sistem yang saling berkaitan di bawah sistem pemerintahan Islam.

Sistem pemerintahan Islam yang menyeluruh tentu membutuhkan sebuah institusi yang dapat menaunginya, institusi tersebut tidak lain adalah Khilafah Islamiyyah.

Daulah Khilafah yang kemudian akan menjamin kesejahteraan seluruh rakyat, baik muslim maupun non muslim. Kesejahteraan buka lagi sekedar wacana dan bukan lagi hanya mimpi.

Namun, ia akan benar-benar dirasakan ketika negara yang menerapkan sistem kapitalisme menanggalkan sistem yang menjadi biang permasalahan di negara ini, dan menggangtinya dengan sistem pemerintahan Islam dalam bingkai Khilafah.

Khilafah yang kemudian akan memberikan kelayakan pada buruh, standar gaji buruh didasarkan pada manfaat tenaga yang diberikan oleh buruh, bukan berdasarkan living cost terendah. Upah yang didapat buruh akan sepadan dengan ketentuan upah yang berlaku di tengah masyarakat.

Walhasil, tidak ada istilah UMR (Upah Minimum Regional) yang ditetapkan kepada para buruh oleh negara. Karena ini yang kemudian akan memberikan ketidakadilan bagi para buruh. Tenaga mereka terus dieksploitasi, sedangkan upah yang didapat tidak sepadan dengan kerja yang mereka lakukan.

*Penulis adalah Mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia dan Aktivis Famous (Forum Aktivis Mahasiswi Regional Kampus) Bandung


Rismayanti Nurjannah
Jl. Gegerkalong Girang, Bandung
rismayantinurjannah@yahoo.co.id
082115632175

Lihat di news.detik..com(detiknews)
 

Forum Opiniku :) Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates