Sungguh
mustahil mewujudkan masyarakat yang bersih dari narkoba jika hukum yang
digunakan saat ini masih hukum buatan manusia yakni demokrasi dengan akidah
sekulerisme. Hukum bisa dengan mudah diperjualbelikan bahkan diubah sesuai
dengan kepentingan pihak-pihak tertentu. Hanya dengan penerapan syariat Islam
yang kaffah dalam bingkai Khilafah masyarakat yang bersih dari kemaksiatan
mampu diwujudkan.
Kian
maraknya penyalahgunaan Narkoba tidak lain dan tidak bukan akibat akidah
sekulerisme yang kini menjadi landasan kehidupan dalam bermasyarakat.
Sekulerisme meniscayakan adanya pemisahan agama dari kehidupan. Gaya hidup
hedonis dan permisif (serba boleh) pun semakin menjamur akibatnya. My body my right. Prinsip hidupnya bukan
lagi halal haram melainkan “uang saya
sendiri, badan saya sendiri, maka terserah saya donk”. Akhirnya miras,
narkoba, perzinaan, free sex,
pelacuran, dsb menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sebagian
masyarakat di negeri ini.
Sistem
hukum yang diharapkan mampu memberantasnya nyata-nyata tumpul. Pertengahan
bulan ini, presiden Yudhoyono mengabulkan permohonan grasi bagi terpidana mati
kasus narkoba Deni Setia Maharwan alias Rafi dan Merika Pranola alias Ola alias
Tania dan mengubah hukuman keduanya menjadi penjara seumur hidup. Sebelumnya, kebijakan
yang sama diperuntukkan bagi Schapelle Leigh
Corby, seorang warga negara Australia yang tertangkap tangan membawa
narkoba masuk ke Bali dan kemudian terkena sanksi penjara selama 20 tahun.
Corby mendapatkan grasi berupa pengurangan hukuman 5 tahun.
Kebijakan
tersebut seolah memberikan kesan bahwa pemimpin kita mentoleransi berkembangnya
“pasar narkoba” di tanah air, sekaligus seolah melupakan reaksi dan kritikan
pedas dari berbagai elemen masyarakat atas pemberian grasi terhadap pengedar
Narkoba. Ironis.
Inikah keadilan?
Sanksi
hukum yang diberlakukan bagi para pengedar narkoba sungguhlah lunak. Vonis mati
yang diharapkan bisa menimbulkan efek jera justru dibatalkan oleh MA dan grasi
presiden. Bandar dan pengedar narkoba mendapat peluang pengurangan masa
tahanan. Bahkan lebih parah lagi, mereka tetap dapat mengontrol penyebaran
narkoba dari dalam penjara. Tak heran jika kita dapati pula bahwa para aparat
penegak hukumnya pun terjerat narkoba.
Dengan
dalih kemanusiaan, hakim MA membatalkan vonis mati dua gembong narkoba. Hal ini
karena dianggap bertentangan dengan hak hidup yang dijamin oleh UUD 1945 Pasal
28 dan melanggar HAM. Sejumlah LSM yang menolak vonis hukuman mati beralasan
bahwa vonis hukuman mati terbukti tidak menyurutkan angka kejahatan narkoba.
Anggapan
bahwa vonis mati tidak memberikan efek jera jelas tidak didukung bukti. Fakta
yang ada menunjukkan bahwa dari sekian vonis hukuman mati yang sudah dijatuhkan
belum ada yang dieksekusi. Saat ini masih ada 50 terpidana mati kasus narkoba
yang belum dilaksanakan. Disamping kalaupun dilaksanakan, masyarakat tidak
pernah mengetahuinya. Wajar saja efek jeranya belum terasa, sebab memang belum
dilaksanakan.
Enyahkan Narkoba dengan Sistem
Islam!
Ketika syariat Islam diterapkan,
maka peluang penyalahgunaan hukum akan tertutup. Landasan akidah Islam
mewajibkan Negara membina ketakwaan warganya. Ketakwaan yang terwujud akan
mencegah seseorang terjerumus dalam kejahatan narkoba. Setiap individu akan menyadari
benar bahwa ada hari akhir dimana setiap amal perbuatan dimintai pertanggungjawabkan.
Kehidupan bernegara dilandasi dengan suasana keimanan yang kental bukan seperti
saat ini.
Alasan ekonomi yang menjadi salah
satu penyebab seseorang terjerat narkoba pun bisa dienyahkan, karena sistem
ekonomi Islam yang diterapkan dalam sistem pemerintahan Islam meniscayakan
kesejahteraan bagi seluruh rakyat baik dia seorang Muslim ataupun non-Muslim.
Semua pemenuhan kebutuhan pokok setiap rakyat (papan, pangan, dan sandang) juga
kebutuhan dasar masyarakat (pendidikan, layanan kesehatan, dan keamanan) akan
dijamin oleh Negara. Hal ini dapat diwujudkan dengan memanfaatkan dan mengelola
seluruh sumber daya alam sesuai syariat Islam yakni diwajibkan pengelolaannya oleh
Negara dan bukan diserahkan pada pihak swasta asing seperti saat ini.
Secara hukum, dalam syariah Islam,
narkoba adalah haram sebagaimana yang diriwayatkan dari Ummu Salamah ra: “Rasulullah saw. melarang setiap zat yang
memabukkan dan menenangkan”. (HR. Abu Daud dan Ahmad).
Sebagai
zat haram, siapa saja yang mengkonsumsi, mengedarkan dan memproduksinya berarti
telah melakukan jarîmah (tindakan kriminal)
yang termasuk sanksi ta’zir.
Pelakunya layak dijatuhi sanksi dimana bentuk, jenis dan kadar sanksinya
diserahkan kepada ijtihad Khalifah atau Qadhi, bisa sanksi diekspos, penjara,
denda, jilid bahkan sampai hukuman mati dengan melihat tingkat kejahatan dan
bahayanya bagi masyarakat.
Terhadap
pengguna narkoba yang baru sekali, selain harus diobati/ direhabilitasi oleh
Negara secara gratis, cukup dijatuhi sanksi ringan saja. Jika berulang-ulang
tertangkap menggunakan narkoba sanksinya bisa lebih berat. Terhadap pengedar
tentu tak layak dijatuhi sanksi hukum yang ringan atau bahkan diberi
keringanan. Sebab selain melakukan kejahatan narkoba mereka juga membahayakan
masyarakat. Gembong narkoba (produsen atau pengedar besar) layak dijatuhi
hukuman berat bahkan sampai hukuman mati.
Jika
vonis telah dijatuhkan, maka harus segera dilaksanakan dan tidak boleh
dikurangi atau bahkan dibatalkan. Syaikh Abdurrahman al-Maliki di dalam Nizhâm al-‘Uqûbât (hal. 110, Darul
Ummah, cet. li. 1990) “adapun untuk
ta’zir dan mukhalafat, vonis Qadhi itu jika telah ditetapkan, maka telah
mengikat seluruh kaum Muslim, karena itu tidak boleh dibatalkan, dihapus,
dirubah, diringankan atau yang lain, selama vonis itu masih berada dalam
koridor syariah. Sebab hukum itu ketika sudah ditetapkan oleh Qadhi, maka tidak
bisa dibatalkan sama sekali”.
Pelaksanaan
hukuman yang dijatuhkan itu harus dilakukan secepatnya, tanpa jeda waktu lama
setelah dijatuhkan vonis. Pelaksanaannya hendaknya diketahui dan disaksikan
oleh masyarakat seperti dalam had zina sesuai yang terdapat dalam QS. An-Nur
ayat 2. Sehingga masyarakat paham bahwa itu adalah sanksi atas kejahatan
tersebut dan merasa ngeri. Dengan begitu setiap orang akan berpikir ribuan kali
untuk melakukan kejahatan serupa. Wallâhu a’lam. (Anita Qurrota a'yun Al-Anbiyaa)