Minggu, 06 Mei 2012

0 MAHASISWA: RODA PERUBAHAN BANGSA





Oleh: Ayu Susanti - Detik.com

Apa yang terlintas dalam benak kita ketika berbicara tentang "mahasiswa"? Dulu, jika berbicara tentang mahasiswa berarti berbicara tentang perubahan, berbicara tentang perubahan berarti berbicara tentang mahasiswa.

Hal tersebut merupakan hal yang wajar, mengingat berbagai gelar dan status yang disandangkan kepadanya, yaitu sebagai agen perubahan (agent of change), iron stock dan social control.

Mahasiswa sebagai agent of change memiliki artian bahwasanya ia terbuka dengan segala perubahan yang terjadi di tengah masyarakat sekaligus menjadi subjek dan atau objek perubahan itu sendiri. Dengan kata lain mahasiswa adalah aktor dan sutradara dalam sebuah pagelaran bertitelkan perubahan.

Selain itu, mahasiswa pun diharapkan dan menjadi harapan untuk menjadi seorang pemimpin di masa depan yang memiliki kemampuan intelektual, tangguh dan berakhlak mulia. Itulah yang dimaksud mahasiswa sebagai iron stock, sebagai tonggak penentu bangsa.

Peran mahasiswa sebagai agent of change, iron stock, dan social control mengharuskan mahasiswa untuk melek dan peduli dengan lingkungan, sehingga ia akan mudah menyadari segala permasalahan yang ada di tengah masyarakat. Karena bagaimanapun, hanya mahasiswa yang sadar dengan keadaanlah yang mampu dan layak mengusung perubahan.

Sejarah telah mengukirkan banyak cerita tentang bagaimana peran mahasiswa dalam perubahan kondisi bangsa dan negaranya mulai dari zaman kenabian, zaman kolonialisme hingga zaman reformasi.

Di Indonesia pun untuk merubah orde baru menjadi reformasi, menumbangkan rezim Soeharto siapa yang memegang kendali? Tentu mahasiswa. Disamping itu mahasiswa pun memiliki berbagai ilmu yang bisa dijadikan sebagai tonggak intelektual. Dengan ilmu yang dimilikinya, mahasiswa sebenarnya mampu untuk menjadi tonggak masa depan bangsa.

Lain dulu lain sekarang. Kini, ketika berbicara tentang mahasiswa yang terbayang adalah sosok individualis dan self centered yang hanya memikirkan diri pribadi saja.

Boro-boro menjadi aktor perubahan, melek keadaan sekitar pun tidak! Bisa dibilang, mahasiswa telah berubah wujud menjadi sosok autis nan apolitis yang tidak peduli terhadap lingkungan sekitar.

Mahasiswa adalah kaum terpelajar, kaum intelektual. Kaum yang bisa dibilang memiliki intelegensi diatas rata-rata, sehingga dapat memberikan kontribusi positif demi peubahan dan kemajuan di tengah masyarakat.

Lagi-lagi sangat disayangkan, ilmu yang mati-matian dikejar pun, bukan karena tuntunan keilmuannya, bukan pula untuk diaplikasikan dalam kehidupan, tapi semata untuk mengejar-ngejar "nilai dan karir". Sehingga apa yang terjadi? Ilmu hanyalah sebatas angin lalu karena tidak diresapi esensi dari ilmu itu sendiri.

Jika mahasiswa nya saja tidak bisa menjadi tonggak masa depan bangsa, bagaimana jadinya nasib bangsa ini? Ketika mahasiswa mempunyai peran yang lebih yaitu peran intelektual dan tonggak perubahan, seharusnya mahasiswa memfungsikan peran itu.

Sebagai kaum intelektual berarti menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh dan menjadikan menimba ilmu itu sebuah kewajiban dan ibadah kepada Sang Pencipta. ketika sebagai tonggak perubahan artinya mahasiswa harus peduli dengan lingkungan sekitar dan mampu untuk melakukan perubahan ditengah-tengah umat.

Karena sesungguhnya umat saat ini membutuhkan mutiara-mutiaranya untuk bisa menerangi mereka dalam kegelapan. Siapa mutiara-mutiara umat itu? Mahasiswa!

Perubahan apa yang seharusnya layak diusung oleh mahasiswa. Ingat mahasiswa juga manusia. Itu artinya mahasiswa pun adalah makhluk dari Sang Kholik yang mempunyai peran juga sebagai hamba-Nya untuk melakukan setiap perbuatan sesuai dengan perintah Pencipta-Nya.

Islam adalah agama yang sempurna yang mengatur seluruh sendi kehidupan. Namun saat ini kesempurnaan islam tidak bisa dirasakan karena tidak diterapkannya islam dalam kehidupan. Sehingga yang terjadi hanyalah kerusakan. Oleh karena itu perubahan yang seharusnya diusung mahasiswa adalah mengembalikan kehidupan islam untuk bisa dirasakan oleh masyarakat.

Ketika islam diterapkan bukan dirasakan efek sampingnya saja seperti kesejahteraan, perdamaian dan lain sebagainya namun konsekuensi keimanan kita kepada Allah untuk bisa terikat dengan hukum Allah. Jika kita benar-benar mengaku beriman kepada Allah, apakah kita pantas untuk melanggar semua perintah-Nya dengan cara meninggalkan islam dalam kehidupan? Dimanakah letak keima nan kita?

Ketika kita mengusung perubahan ke arah islam, ini artinya kita pun harus mengetahui islam lebih dalam dengan senantiasa mengkaji islam. Dan kita bisa menemukan bahwasanya islam bukanlah hanya mengatur hubungan kita kepada Allah saja seperti shalat, puasa, zakat dan naik haji namun islam adalah solusi kehidupan yang bisa menjawab permasalahan manusia dengan tepat dan tuntas.

Mahasiswa pun harus memiliki identitas, yakni dengan memegang teguh islam. Perubahan akan menjadi jelas jika perubahan yang diusung adalah perubahan ke arah islam. Oleh karena itu yang pantas untuk dijadikan sebagai perubahan bukan perubahan yang ecek-ecek tapi perubahan untuk mengembalikan kembali kehidupan islam di tengah-tengah masyarakat.

Karena itu adalah bukti ketundukan kita kepada Allah. Siapa yang bisa menjadi mutiara-mutiara umat, pengusung perubahan? Jawabannya tentu KITA, MAHASISWA.

*Penulis adalah Anggota Divisi An-nisaa' KALAM Universitas Pendidikan Indonesia
*Mahasiswa Jurusan Pendidikan Kimia '09 UPI




Dimuat di:
http://news.detik.com/read/2011/10/31/102001/1756144/471/mahasiswa-roda-perubahan-bangsa (Senin, 31 Oktober 2011)

Sabtu, 05 Mei 2012

0 Cukup Islam, Tak Perlu UU Kesetaraan Gender

Oleh: Fahmi Dewi Angraini - Hidayatullah.com


KELOMPOK feminis berusaha melawan sistem dan konstruk sosial yang dilandasi seksisme dan patriarkhisme. Tafsir kelompok feminis didasarkan pada konsep keadilan, yajni harus menyamakan laki-laki dan perempuan dalam segala lini kehidupan, hal ini telah menjadi mesin penggerak kelompok ini untuk berdalih untuk menyelamatkan kaum perempuan dari ketertindasan ketidak-adilan dan diskriminasi yang kerap kali disuguhkan oleh ajaran-ajaran Islam. Sehingga kelompok feminis menuntut pemerintah untuk turut andil dalam menyematkan kaum perempuan dengan merancang dan kemudian mengesahkan undang-undang Kesetaraan Gender (RUU KG) agar pemerintah tidak terkesan membiarkan kaum perempuan dalam ketertindasan dan pengucilan.

Draf RUU KG yang disusun oleh Timja pada 24 Agustus 2011, ternyata hal-hal yang dibahas dalam Ketentuan Umum Bab I pasal 1 sangat bermasalah. Secara umum, definisi yang diberikan untuk istilah-istilah seperti “gender”, “kesetaraan gender”, “keadilan gender”, “diskriminasi”, “pengarusutamaan gender”, “analisis gender”, dan “anggaran responsif gender” cenderung memarjinalkan nilai-nilai agama, memisahkan aspek biologis dan peran sosial, serta sarat dengan muatan feminisme Barat yang sekular dan seksis.

Sudah beberapa abad lamanya ajaran Islam dirasakan dan dinikmati sangat melindungi kaum perempuan dan sama sekali tidak pernah menyuguhkan nilai-nilai ketidakadilan dan diskriminasi terhadap perempuan. Hal itu terbukti semenjak awal Islam diturunkan melindungi dan mengangkat derajat perempuan dari ketertindasan, pengucilan, diskriminasi dan segala bentuk kebebasan yang dapat menjerumuskan perempuan ke dalam jurang kesesatan. Islam sedari awal telah memberi perempuan posisi yang bergengsi. Posisi inilah yang berhak dia peroleh sebagai manusia yang bermartabat.

Posisi itu adalah ummu wa rabbah al-bayt (ibu dan manajer rumah tangga). Di dalam Islam, perempuan adalah kehormatan yang harus dijaga. Islam pun menetapkan hukum-hukum yang memelihara hak-hak perempuan; menjaga kemuliaan dan menjaga potensi/ kemampuannya (Lihat: QS at-Taubah [9] : 71).

Islam akan membebaskan perempuan dari kemunduran dan penindasan sekaligus memberikan visi politik jelas bagi status dan kehidupan perempuan. Sistem ini menyajikan strategi yang jelas untuk menjamin martabat dan hak-hak perempuan serta kaum minoritas. Khilafah adalah sebuah negara yang akan mentransformasi kebangkitan ini menjadi perubahan yang sesungguhnya bagi para perempuan Muslim di Dunia Islam.

Demikian surat pembaca ini saya sampaikan mudah-mudahan bermanfaat dan bisa dimuat.


*Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Psikologi dan Bimbingan UPI

Dimuat di:

http://www.hidayatullah.com/read/22166/12/04/2012/cukup-islam,-tak-perlu-uu-kesetaraan-gender-.html (12 April 2012)

Jumat, 04 Mei 2012

0 Mewujudkan Pendidikan yang Berkualitas

Oleh: Rismayanti Nurjannah - Detik.com
Kecurangan Ujian Nasional bukan lagi sekedar wacana. Berbagai bentuk kecurangan terjadi selama pelaksanaan UN. Dari berbagai kecurangan tersebut, salah satunya ditemukan oleh Komunitas Air Mata Guru (KAMG) di Sumatera Utara.

KAMG menemukan bukti kecurangan berupa kunci jawaban yang ditulis atau diketik pada selembar kertas.

Hal yang mengejutkan, Kemendikbud sendiri menerima 585 pengaduan perihal kecurangan dan kebocoran pada penyelenggaraan UN SMK, SMA, dan madrasah aliah tahun ini.

Miris? Ya, bagaimana tidak miris ketika potret pendidikan kita seperti saat ini. Kecurangan UN seperti sudah menjadi konsumsi umum dan bukan lagi sebuah aib.

Dunia pendidikan kita pun diwarnai dengan menjamurnya materi yang tidak layak dikonsumsi peserta didik seperti kata-kata vulgar.

Bahkan, ajaran komunisme pun kemudian disusupkan dan ini diajarkan kepada peserta didik seperti yang terjadi di sebuah sekolah di Sukabumi.

Fenomena di dunia pendidikan tak ubahnya fenomena gunung es. Pendidikan yang berperan mengintegrasikan pola pikir dan pola sikap terbukti gagal.

Karena bagaimana peserta didik bisa menjadi generasi berkualitas, sedangkan materi yang diajarkan tidak menopang untuk pembentukan generasi berkualitas dan beradab.

Mengingat asas pendidikan kita berbasis sekulerisme –memisahkan agama dari kehidupan-, maka menjadi sebuah kewajaran jika kita menemukan berbagai hal yang menyimpang dari dunia pendidikan.

Misalnya dalam pelaksanaan UN, aksi contek mencontek dilakukan siswa, mereka tak lagi memikirkan dosa yang tengah dijalankannya.

Hal inipun diperparah oleh praktisi pendidikan yang dengan suka rela memberikan jawaban kepada peserta didik, tanpa menimbang baik buruknya.

Hal inilah yang kemudian menjadikan output pendidikan kita tidak berkualitas sebagaimana yang diharapkan. Lantas apa yang didapat dari pembelajaran yang selama ini dienyam? Hanya sekedar nilai tanpa aplikasi kah?

Dalam Islam, pendidikan berperan untuk membentuk pribadi-pribadi yang bertakwa dengan mengintegrasikan pemikiran dan realisasi sikap dalam kehidupan.

Tidak akan ada lagi cerita mengenai kecurangan UN, karena individu-individunya baik itu peserta didik maupun praktisi pendidikan sudah sangat memahami konsep dosa dan bagaimana konsekuensi yang didapat nanti jika mereka melakukan hal yang demikian.

Materi yang diajarkan pun materi yang membentuk pola pikir individu agar menjadi generasi berkualitas yang memberikan kontribusi bagi negaranya.

Untuk mewujudkan semua itu, negara wajib menyediakan pendidikan berkualitas bagi seluruh warga negaranya secara gratis. Sehingga setiap orang bisa mengenyam pedidikan.

Negara wajib menyiapkan sarana dan prasarana pendidikan. Membangun gedung-gedung sekolah dan kampus yang representatif, laboratorium yang lengkap untuk menunjang berbagai riset.

Memberikan tunjangan penghidupan yang layak baik bagi para pengajar maupun kepada para pelajar. Pend idikan seperti ini akan sangat sulit diwujudkan jika sistem ekonomi yang digunakan adalah sistem ekonomi kapitalis seperti yang tengah diterapkan negara ini.

Sistem pendidikan tidak akan terwujud tanpa topangan sistem yang lainnya, tentunya sistem yang digunakan pun tidak bisa berlainan sistem. Walhasil, perlu adanya sebuah penerapan sistem pemerintahan Islam dalam bingkai Khilafah Islamiyyah.

*Penulis adalah Mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia dan Aktivis Komunitas Muslimah Pembebas Generasi

Dimuat di:
http://news.detik.com/read/2012/05/01/115522/1905829/471/mewujudkan-pendidikan-yang-berkualitas (01 Mei 2012)
 

Forum Opiniku :) Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates